Dapet tugas review acara bedah buku di kampus FIB Undip tercinta, untuk mata kuliah Cyber Sastra yang Devi ambil di semester IV. Daripada mubazir, Devi share nih.. Maaf telat banget share-nya, kalau ga bermanfaat, buat hiburan aja gapapa ^^)v
**
Dalam
acara bedah buku ini menghadirkan tiga orang penting untuk membedah suatu karya
yang baratnya dokumentasi seorang jurnalis. Orang penting tersebut yaitu Prof.
Muja, Aditya, dan Heri C. S. serta moderator yang memandu adalah Salma Ibrahim.
Acara ini dibuka oleh Icha, selaku ketua panitia acara.
Heri
C. S. selaku penulis buku yang dibedah ini mengumpulkan keberanian untuk
merilis bukunya setelah sepuluh tahun. Buku ini merupakan bunga rampai esai
dari tahun 2005-2015. Kampus FIB adalah tempat penting lahirnya karya ini,
yaitu dengan berkomunitas dia berproses untuk menulis. Buku adalah cara Heri
untuk bersilaturahim serta berterima kasih kepada orang lain. Sedangkan membaca
adalah berbagi keasyikan. Membaca dan menulis adalah cara kita berbagi. Prof.
Muja mengatakan, mahasiswa Sastra Indonesia harus bisa menulis. Tulisan adalah
suatu identitas. Ciri-ciri seorang intelektual itu punya tulisan.
Aditya
adalah alumni mahasiswa Sastra Indonesia. Bisa dibilang masa kuliahnya adalah
masa transisi era reformasi. Banyak mahasiswa atau komunitas berdemonstrans
untuk menyuarakan keadilan, menyuarakan kebebasan. Aditnya selaku kakak
angkatan dari Heri, melihat Heri adalah mahasiswa yang aktif berkomunitas. Di
lihatnya Heri memandang komunitas adalah suatu hal, dan menulis adalah suatu
hal.
Di
bahas mengenai paragraf akhir dalam esai yang berjudul Sekeping Besi Lumba-lumba Terpatri. Ini membuka pemikiran bahwa
Indonesia tidak pernah bisa belajar dari pengalaman. Pengalaman itu terulang,
dan jika tertarik pada masa saat ini ternyata masih relevan. Tetapi selalu saja
kembali pada kesalahan yang sama, belum bisa belajar dari pengalaman.
Mungkinkan ini adalah Human Error?
Heri
C. S. menjawab pertanyaan yang diajukan Audian, penulis harus sabar menanti ide
yang tak kunjung datang. Siapa pun, baik penulis besar maupun penulis pemula,
pernah merasa kehabisan ide. Jika buntu, maka jeda sebentar yaitu sama sekali
tidak menulis atau menulis hal-hal lain. Ini merupakan cara sederhana jika ide
sudah mentok.
Prof.
Muja mengatakan seorang jurnalis harus mempunyai rasa ingin tahu apa saja dan
minat baca apa saja. Secara otomatis, maka jurnalis akan sama dengan generalis.
Salah satu kesalahan jurnalis yaitu karena keterbatasan waktu, tidak ada waktu
untuk merenungkan tulisannya. Seorang jurnalis seharusnya dapat memunculkan
rasa ingin tahu pembaca, membuat tulisan dengan berbagai macam warna secara
cepat. Prinsip dasar seorang jurnalis adalah menghadirkan sesuatu hal yang
unik.
Membahas
mengenai esai dengan judul Putri di
Negara Setengah-setengah. Esai ini banyak menceritakan peristiwa sosial
politik. Menceritakan kisah perempuan yang akan mengikuti Miss Univers, tetapi
MUI memberi fatwa haram. Mencari tahu bagaimana sikap MUI dibelakang fatwanya,
apakah benar-benar melarang atau masa bodoh. Betulkah yang dikatakan MUI,
apakah semuanya setuju, atau kah di dalamnya justru bertengkar sendiri.
Esai lain yang dibahas yaitu Agama Bukan Rumah Tanpa Jendela. Esai
ini sangat profokatif. Menceritakan tentang kebenaran masing-masing agama.
Misalnya seseorang menyatakan mereka yang tidak sama dengan kita adalah salah.
Menjawab
pertanyaan Bayu Purba, bagaimana jalan cerita dan inti buku ini. Heri C. S.
menjawab memang tidak terfokus inti dari buku ini karena terdapat lima tema
besar dalam 45 judul esai. Cara penulisannya pun berbeda-beda dengan sudut
pandang yang bervariasi pula, salah satunya sudut pandang secara jurnalistik.
Karena selama penggarapan, Heri mengaku melakukan eksperimen dalam
penulisannya, isinya berupa dokumentasi hal-hal yang diamatinya.
Aditya
menambahkan, untuk menulis tidak perlu menjadi jurnalis. Bisa diawali dengan
menulis buku diary supaya tidak ada peristiwa yang terlewat. Untuk menumbuhkan
motivasi untuk menulis, bisa dengan menonton film motivator jurnalis.
Menulislah, menyampaikan yang ingin disampaikan. Karena menulis sekarang tidak
sesulit dulu.
Pertanyaan yang lain diajukan oleh
Ilham, tulisan gaya dulu kenapa terbit sekarang, menurutnya tidak relevan. Heri
C. S. menjawab, memang menjadi resiko dari sebuah kumpulan esai selama sepuluh
tahun akan mengalami editing agar layak dan menjadi relevan. Tetapi dibalik
kendala itu terdapat semangat untuk tetap mendokumentasi.
Prof. Muja menyatakan senang dengan
pertanyaan yang kritis, itu merupakan suatu pendewasaan. Seorang penulis, butuh
pengakuan orang untuk mengkritisi, untuk mengetahui kelemahan diri sendiri,
karena pembaca lebih kritis daripada penulis. Menjadi rendah hati itu penting,
karena tidak ada suatu kesuksesan yang meloncat, itu semua melalui proses.
Acara ditutup dengan akhir kata Heri
C. S. mulailah menulis kawan. Prof.
Muja menambahkan, akhiri diskusi dengan
pola. Selesai pula lah acara bedah buku ini.
(2016)

Comments
Post a Comment