Ringkasan Cerpen Robohnya Surau Kami
Karya A. A Navis
(Tugas Pengkajian Cerita Rekaan, smt2)
Di ujung jalan ada
sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui
empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu ada seorang tua yang
biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya
beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau,
Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali
se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan
mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai
pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang
suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Tapi
yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah
tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain. Perempuan
yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di
malam hari. Jika dilihat sekarang,
gambarannya seperti suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian
hari kian cepat berlangsungnya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh
manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi. Dan
biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya.
Beginilah kisahnya.
Suatu hari aku datang mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena
aku suka memberinya uang. Tapi sekali
ini Kakek begitu muram. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu
yang yang mengamuk pikirannya. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan
belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk
disampingnya dan berbicara pada kakek.
Kita membicarakan tentang
Ajo Sidi. Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Aku senang
mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang
aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan
pekerjaannya. Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi
kepada Kakek. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan
itukah yang mendurjakan Kakek.
Kakek tersinggung
dengan bualan Ajo Sidi. Kakek mulai menceritakan bualan Ajo Sidi. Kakek merasakan,
apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya. Dia
memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan
hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala
kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia senantiasa
bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua yang
dikerjakannya salah dan dibenci Tuhan? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh
yang di mata manusia tampak taat. Karena selalu beribadah kepada Tuhannya tak
memikirkan suatu apapun. Tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Karena membiarkan
anak cucu serta istrinya menderita, egois, hanya memikirkan dirinya sendiri.
Padahal manusia hidup di dunia berkaum, bersaudara, tetapi tak dipedulikannya
sedikitpun.
Demikianlah cerita Ajo
Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan besoknya,
terdengar kabar bahwa Kakek meninggal. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha
mengurus mayatnya dan menguburnya. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku
berjumpa dengan istrinya saja. Dan Ajo Sidi meninggalkan pesan agar dibelikan
kain kafan buat Kakek tujuh lapis sedangkan Ajo Sidi tetap pergi bekerja.
Comments
Post a Comment