Ringkasan Cerpen Suweng

Ringkasan Cerpen Suweng 
Karya Hasta Idriyana

(Tugas Pengkajian Cerita Rekaan, smt2)

Tak ada berita tersebar tentang peristiwa malam-malam, seorang lelaki mengendap-endap di rumah gadis yang tinggal sendirian. Tak ada orang mengabarkan bahwa perawan ayu itu dipaksa memuaskan nafsu si lelaki. Tapi, waktu telah mematangkan kisah. Si gadis yang tinggal sendirian di pinggir dusun berbadan dua. Seisi desa geger. Rapat dusun yang menyertakan perangkat desa digelar. Berkali-kali, tak mampu membuka tabir. Si gadis membisu. Tak ada yang mampu membujuk. Para istri gelisah. Orang-orang menjadi tertutup.
Maka, cara supranatural pun ditempuh. Orang pintar yang dimintai tolong, memberikan ciri-ciri fisik pelaku. Tak lebih. Beberapa lelaki berdasarkan petunjuk orang pintar jadi gelisah. Mereka, antara lain seorang perangkat desa, perangkat dusun, takmir masjid, dan seorang pelajar SMA kelas satu. Si gadis pun ditanya nama pelakunya satu per satu, nama lelaki berdasar ciri-ciri dari orang pintar itu. Ia menggeleng. Tak ada yang diakuinya.
Waktu berjalan. Jabang bayi lahir. Kisah mengenai seorang anak yang dilahirkannya, selalu menyertai jika orang-orang membicarakannya. Anak itu, yang sekarang seusia SMP, diadopsi seorang warga yang kemudian diajaknya hidup di Jakarta.
Perihal perhiasan Suweng yang tiba-tiba lengkap, menjadi bahan omongan warga, terutama ibu-ibu. Agak sedikit berbeda bentuknya. Tapi, yang membuat tidak biasa, karena kedua telinganya kini terpasang suweng semua. Mereka bergunjing. Waktu pun membuktikan. Suweng hamil untuk yang kedua. Santer berita itu. Tapi, orang-orang tidak meributkan. Masyarakat seperti paham pelakunya. Orang-orang tidak berani sembarang bicara. Dalam hati mereka, biarlah si lelaki yang menanggung. Atau, kalau dibiarkan, biarlah Suweng merasakan akibatnya. Ya, beberapa warga ada yang sempat melihat kelebat bayangan lelaki naik ke bukit di malam-malam. Dalam langkah mengendap, gerak-gerik segera terbaca ia siapa. Tidak hanya satu kali bahkan.
Dulu, setelah kehamilan pertama, ia diminta tinggal di bukit. Maksudnya, agar tidak ada laki-laki sembarangan mengganggu. Bagi sebagian warga, Suweng pantas diasingkan, apalagi ia keturunan keluarga yang memang harus diasingkan. Suweng menerima keputusan rapat desa. Warga seperti berjaga, bahwa siapa pun penyelinap bukit, pasti bakal ketahuan. Tapi, Suweng tetap saja Suweng, ia seperti batu perhiasan yang memancarkan daya tarik. Ia yang pendiam, penurut, dan bodoh, diinginkan tubuhnya oleh lelaki. Alasan sejarah hidup, kondisi ekonomi, dan kelemahan lain, menjadikan ia gampang dibohongi. Ia jadi terkesan seperti perempuan murahan.
Di dusun, tidak ada rapat desa atas kehamilan Suweng yang kedua. Pada suatu waktu, mungkin orang-orang menyebutnya sebagai keberuntungan, Suweng keguguran karena terpeleset saat mengambil air di pancuran. Semua nampak bernapas lega. Juga Suweng, ia biasa dan baik-baik saja. Dan dusun tandus itu, berdenyut dalam ketidakpedulian dan kepasrahan.
Suatu ketika ada Guru yang ditugaskan di desa itu. Ia jatuh cinta kepada guru honorer yang mengajar sebuah SMP. Begitulah jodoh, mereka menikah dan tinggal di rumah mertuannya.
Istrinya bercerita tentang perempuan yang sudah belasan tahun menempati bukit. Orang-orang memanggilnya Suweng, karena ia memakai anting-anting bermata, mata batu merah siyem. Anehnya, suweng yang dipakai hanya satu, di sebelah telinga kiri. Itu dulu, mulanya.
Beberapa cerita menyebar ketika itu, Suweng dihamili jin. Ada cerita lain, ia diperkosa orang dari luar desa. Ada lagi cerita bahwa ia dihamili oleh seorang tokoh desa, tapi ditutup-tutupi. Ada juga yang menyebutkan bahwa sebenarnya ia hamil atas dasar suka sama suka dengan seorang pemuda di dusun ini. Cerita yang menyebar sebatas bisik-bisik. Lambat laun, peristiwa itu mengabur. Tak ada yang berusaha menguak. Semua kembali berjalan seperti tak pernah terjadi sesuatu.

Setelah satu tahun menikah, istrinya mengandung. Keluarga mereka bahagia. Dan merayakannya. Ketika Guru itu istirahat sejenak. Ial membuka album lama. Masa lalu keluarga istrinya terabadikan. Sampai pada suatu halaman, darahku tiba-tiba tersirap ketika menatap ibu mertua. Selembar foto berukuran kartu pos yang pinggirnya mulai dilekati jamur, menyita mataku. Di foto itu, beliau memakai perhiasan yang sepertinya aku mengenalinya. Suweng bermata batu merah siyem menempel di kedua telinganya.

Comments