Ringkasan Cerpen Serantang Kangkung
Karya Oei Sien Tjwan
(Tugas Pengkajian Cerita Rekaan, smt2)
Siang itu aku duduk di
ruang muka. Pintu kubuka lebar sebagai pengganti jendela yang tak ada satu
pun di rumah ini. Hanya beberapa lubang di rumah ini,
lubang-lubang itu merupakan daerah cahaya dan kesegaran. Rumah orang tuaku
kecil, kotor, lembab dan sedikit bau. Aku terlena sebentar di kursi tua ini.
Ayah sibuk menyiapkan minuman dan nasi, ibu menyiapkan lauk dan mencuci
pakaian. Sedangkan adik-adik masih tidur. Sambil bejerja, tak ada acara yang
lebih manis daripada berdiskusi kecil-kecilan. Tentang kehidupan.
Tempe, tahu dan sambal
adalah lauk kami tiap hari. Tanpa sambal, kehidupan kami jadi hambar.
Barangkali sudah ditakdirkan bahwa makanan-makanan tersebut adalah
sahabat-sahabat orang miskin. Sehingga setiap hari pula aku menerima
pertanyaan-pertanyaan dari para tetangga: “Apa laukmu hari ini, Gus?” Sambil
berlari aku menghindar karena sedih menjawabnya.
Aku
tak pernah mengadukan hal ini kepada orangtuaku. Percuma sebab mereka hanya
tertawa saja. Kupikir rasa ingin tahu mereka terlalu kekanak-kanakan. Seharunya
mereka bisa bertanya yang lain. Misalnya tentang pelajaran, kesehatan, cuaca,
sanak keluarga, dunia, ayam, kumis atau jenggotku. Mengapa yang ditanyakan
selalu itu-itu saja. Apakah tingkat berpikirnya hanya sebatas tahu, tempe, dan
sambal saja. Terlau sempit kalau jawabannya adalah “Ya”.
Siang ini aku masih
menggelepar di atas kursi tuaku.Aku sebetulnya habis makan. Sebab masa paceklik
makanku tak seperti biasa. Satu piring terdiri dari nasi putih dan kacang
merah. Lauknya tahu, tempe, sambal dan sayur lodeh.
Sebelum sempat aku
meneruskan pikiran-pikiran itu, tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara orang
mengetok pintu. Datang perempuan membawa rantang. Pasti isinya enak-enak.
Tawaku setengah pudar ketika malam harinya aku mengembalikan rantang tersebut.
di dalam hati aku tak pernah mengucap terimakasih, walau di mulut berkata
demikian. Rantang tadi berisi sayur kangkung yang telah basi. Aku jadi marah
dan curiga terhadap pemberiannya. Kami sebetulnya perasa, mudah tersinggung dan
penuh curiga. Mereka pasti sedang tertawa terbahak-bahak membayangkan kami
sedang muntah-muntah.
Kurasakan tidak adil
dan tidak jujur kepada diriku sendiri. Bukan hanya sekali tetanggaku mengirim
makanan-makanan ke tempat keluargaku. Semuannya enak-enak. Baru sekali ini
terpeleset. Aku jadi sedih bila memikirkan kelakuanku kemarin. Mengapa aku
hanya memikirkan satu kesalahan, sedang seratus kebaikan kulupakan sama sekali.
Tiba-tiba aku punya
gagasan baik. Aku menyuruh ibu menyembelih ayam, beli udang dan kangkung segar
yang banaya, serta juga membeli mie. Setalah masakn kangkung dan mie masak.
Kupinjam rantang pada ibu kemudian kuisi penuh –penuh rantang itu. Dengan penuh
perdamaian dan senyum persahabatan, masakan itu aku antarkan sendiri ke pemilik
toko emas di depan rumahku. Kuserahkan makanan-makanan itu pada anak-anaknya.
Pemilik toko emas itu bertanya: “Hari ini laukmu apa, Gus?” dengan senyum yang
cerah aku menjawab: “Tahu, tempe, kacang merah dan segenggam kebijaksanaan.”
Dia tersenyum heran. Aku tersenyum penuh kemenangan.
Comments
Post a Comment