Ringkasan Cerpen Keris

Ringkasan Cerpen Keris
Karya Purnawan Tjondronegoro

(Tugas Pengkajian Cerita Rekaan)

Dari jendela itu aku perhatikan air hujan yang sejak keberangkatanku dari stasiun Gambir, turun dengan lebat.Aku mengeluh, kereta api akan datang terlambat sekitar empat jam. Sambil memandang pemandangan keleuar jendela. Suatu pemandangan biasa ditengah perjalanan. Alam dan manusia seolah bersatu padu, merupakan gambar hidup yang menarik. Menarik bagi diriku, kaeran aku duduk di dalam kereta yang terlindung dari tetes air hujan.
Aku sedang diburu persaanku sendiri. Kemarin telegram datang dai Solo, Ramanda meminta aku segera datang, penting katanya. Sudah beberapa bulan akhir-akhir ini Ramanda menderita sakit. Dua bulan berselang aku pulang menengoknya. Ramanda seorang yang keras hati, yang Cuma mengenal kata mutlak dalam hidupnya. Beliau tidak pernah mengenal arti kompromi sama sekali.  Apa kemauannya, itu yang terjadi!
Ketika kami bertemu, Ramanda dia tampak berbeda. Beliau telah kehilangan kepribadiannya, kehilangan sifat keras hatinya. Aku ingat betul ketika Ramanda memandangiku. Dan ketika mata kami bertemu kembali, Ramanda tampak keras dengan sinar mata menyala, berkata: “Masih serumah dengan perempuan itu!”. Pertanyaan Ramanda yang demikian benar-benar mengguncangkan hatiku.
Sepuluh tahun yang lalu terjadilah peristiwa itu. Aku jatuh cinta kepada Pratiwi, anak seorang Guru Sekolah Dasar. Sampai tiba saatnya aku melamarnya. Untuk itu aku memohon izin Ramanda. Tetapi Ramanda menolak.
Aku duduk diam. Hatiku bergejolak memberontak. Darah Ramanda pun mengalir dalam tubuhku. Mungkin karena itulah aku memberontak kemauan Ramanda. Akhirnya kami jadi nikah. Telah kubayangkan akibatnya dan terjadilah pengusiran itu. Hanya ibunda saja yang masih sempat mengulur tangannya kepadaku. Pratiwi memahami persoalan-persoalanku dan selalu menghiburku.
Aku dalam persimpangan jalan. Berangkat menemui Ramanda berarti membuka luka lama yang telah kami lupakan. Tapi Pratiwi tetap mendesakku.
Kereta api mulai memasuki stasiun balapan. Penumpang-penumpang bersiap turun. Aku memandang sekeliling-. Sementara itu seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, kulihat mas Arjuno berdiri di bawah pohon peron, menyambutku. Sepanjang jalan menuju ke rumah, mas Arjuno menceritakan tentang ketiga anaknya. Karena mereka berhasil menempuh pendidikannya. Kutunggu kapan dia menanyakan perihal anak-anak dan istriku. Tetapi tak kunjung juga ditanyanya, betapa kecewa.
Setelah sampai di rumah, kami masuk. Dan betapa terkejjut aku melihat Ramanda duduk di kursi besar itu., menghadap ke pintu. Ternyata Ramanda akan membicarakan masalah warisan. Ramanda mulai berbicara. Tanah, sawah, kebun itu dibagi rata untu keempat saudara perempuanku. Dan empat buah keris pusaka peninggalan nenek moyang yang menjadi cikal bakal Mataram. Ramanda akan membagikan kepada putra-putranya, tetapi dengan syarat. Syarat bahwa putranya memiliki sifat dan sikap tuhu, menuruti ajaran Jawa, menghormati orang yang lebih tua, serta memahami arti hidup sebagi orang Jawa. Hal ini adalah mutlak bagi Ramanda. Karena hidupku bertolak dari sumber itu.
Hatiku serasa lumpuh, Ramanda telah menghancurkan diriku habis-habisan. Mereka yang hadir memandangiku. Aku merasa tersudut dan kalah. Selintas terbayang putraku satu-satunya, Prahasto. Penerus dari dinasti Raden Mas SinduProdjo.
Malan telah larut, aku terbaring di kamar atas. Hatiku merasa nista dan kecil dalam keluarga orang tuaku ini. Mengapa Ramanda tidak pernah memafkan diriku.
Tiba-tiba kudengar langkah kaki yang sangat kukenal menuju kamarku. Kemudian tangan berjemari halus membelai rambutku. , ciuman dan kasih sayang ibundaku bertubi-tubi singgak di kening dan pipiku. Ibu memberiku sebuah ringgit perak Belanda dengan tulus dan ikhlas. Ini tidak berarti apa-apa bagi ibunda dibanding kebahagiaan cucunya Prahasto.
Kami pun saling melampiaskan perasaan kami di tengah malam yang dingin, sepi dan gelap. Hatiku pun mulai dijalari perasaan tenang kembali. Tuhan telah mendengar jeritan hatiku. Doaku terkabul sudah. 

Comments

Post a Comment